21 april diperingati sebagai hari emansipasi wanita. Ada yang lebih cocok menyebutnya perempuan, berasal dari kata per’empu’an. Empu dalam tradisi jawa kuno, seorang ahli/pakar. Kita mengenal tokoh empu gandring, ahli pembuat keris. Dan untuk menyebut negri, kata ibu digunakan sebagai kata ganti.
Stasiun TV, setiap kali hari kartini datang, mereportase perempuan yang bekerja di tempat kerja laki-laki. Ada sopir, tukang tambel ban, kuli panggul, buruh tambang bahkan tukang beca. Termasuk tukang ojek dan sebagainya.
Reportase tentang perempuan yang bekerja di kerjaan yg biasa dikerjakan laki2, disajikan sebagai satu bentuk ‘perlawanan’ bahwa semua kerjaan yang dikerjakan laki2 bisa juga dikerjakan wanita. Dan ini dianggap sebagai satu pola emansipasi, mesejajarkan wanita sama dengan laki-laki.
Tapi persoalannya haruskah begitu, menjadikan wanita ‘seperkasa’ laki-laki. Saya lebih setuju, seperti apa yang dikatakan Lies Marcoes Natsir, bahwa wanita dan laki-laki seperti dua sepasang sandal jepit. Ada kiri ada kanan, keduanya saling melengkapi. Bisa dibayangkan kita bersandal hanya sebelah dan ‘nyeker’ sebelahnya lagi.
Feminisme tidak harus membuat perempuan jadi laki-laki, tetapi feminisme harus dipahami sebagai upaya untuk menyadarkan para wanita tentang hak-hak mereka, selain kewajiban yang mereka jalani. Hak tersebut saat mereka menjadi ‘strategic-partner’ dalam keluarga. Kesuksesan setiap pria, pasti dibelakangnya ada sosok yang luar biasa, wanita yang mensuport dan melakukan ‘balancing’ dalam membangun hubungan keluarga yang salin g menguntungkan. Sosok seperti Obama saja, katanya sangat dipengaruhi Michele obama, begitu juga banyak contoh tokoh penting dunia lainnya.
Kartini adalah ‘martir’ perlawanan atas hegemoni ‘kekuasaan’. Ia melawan dengan bahasanya sendiri. Melawan dengan menumpahkan semua ‘keluh-kesahnya’ menjadi selir, yg di’lemahkan’ dalam hubungan keluarga. “Habis gelap terbitlah terang”, apa yang diderita Kartini, menjadi pelajaran berharga wanita lain untuk bangkit melakukan perlawan, menyadari hak-haknya. Dan melakukan pembelaan terhadap kaumnya.
Dalam kabinet SBY, ada beberapa wanita yang jadi tokoh kunci, mentri kesehatan, menteri perdagangan, mentri keuangan, mereka berhasil membuktikan bahwa kepemimpinan wanita bisa disejajarkan dengan pria bahkan bisa lebih. Menteri kesehatan misalnya, beberapa waktu yang lalu, sempat melakukan perlawan terhadap hegemoni AS terhadap ‘pemanfaatan’’ virus HN2 Avian influenza. WHO sebagai lembaga kesehatan PBB, dilawan siti fadilah, walau kuatnya lobi AS di lembaga ini. Sebagai bangsa berdaulat, kita berhak untuk tau dan akan ‘dikemanakan’ sampel virus yg dikirim ke lab.WHO di hongkong. Sri mulyani, Marie L.angestu, juga tokoh wanita hebat yang banyak melakukan terobosan di kabinet SBY. Tapi seperti cerita ibu Rini, skrg walikota jakarta pusat “di pemda DKI saya walikota, kalo di rumah sy ibu rumah tangga yg harus ‘menghargai’ kepemimpinan suami…”. Orang2 seperti mereka yang sadar hak dan tau bagaimana menempatkan diri dalam hubungan laki2 dan wanita.
Sekali lagi, Feminimisme bukan gerakan merubah wanita jadi laki2…….
Urgensi Kesepadanan Hijab Materi dan Rohani
1 tahun yang lalu
Sukses