Selasa, 14 Juni 2011

Rem itu perlu

Minggu pagi di daerah Kwitang – dekat pasar Senen-Jakarta selalu penuh dengan masyarakat Betawi yang mengikuti pengajian. Pengajian ini termasuk yang tertua di Jakarta. Semula pengajian ini di pimpin oleh, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsy, pada tahun 1900-an. Kemudian dilanjutkan ke anaknya dan cucu-nya. Hingga saat ini.

Di Jakarta pengajian seperti ini banyak tersebar di sekeliling Jakarta. Hampir di setiap sudut kampung Jakarta, yg mayoritas Betawi punya pengajian sejenis. Materi yang diajarkan di pengajian tersebut lebih banyak ilmu tasawuf dan fiqh. Fiqh adalah ilmu yang mengajarkan tata cara beragama yg ‘standardise’. Ajaran agama yang mengikuti apa yang diajarkan Kanjeng Nabi. Ilmu ini sebetulnya sangat dinamis sipatnya. Karena persoalan sosial-kemasyarakatan yang berkembang pesat, dengan sendirinya aturan hidup yg dilandasi ‘cara pemahaman al-Qur’an’ itupun banyak mengalami penafsiran disesuaikan konteks nya. Ada makna generik yg tak berubah sepanjang waktu, yaitu nilai kebaikan dan kemaslahatan umat manusia.
Tapi belakangan Fiqh mengalami stagnansi, ada ketakutan untuk ‘mengijtihadi’ hal baru yang dianggap radikal. Padahal salah satu komponen ijtihad (mengambilan hukum) itu bernama qiyas, walau itu tak pernah terjadi pada jaman dahulu, tetapi makna yang terkandung di dalamnya tidak berbeda.

Sir Muhamad Iqbal, penyair dan filosof Pakistan, berpendapat Ijtihad itu gerak positif hukum Islam , yang membuat hukum itu selalu update. Setiap ada persoalan yang timbul yang memerlukan ‘kenyamanan hati’ dijawab dengan Ijtihad ini.


Di kalangan tradisional, Ijtihad itu barang mewah. Kok bisa? Karena mereka yang melakukannya harus mempunya standar kualifikasi ketat. Tidak sembarang orang bisa melakukannya. Hal ini bisa jadi baik, bisa juga sebaliknya. Baiknya karena tidak semua orang boleh berijtihad, terutama yang tidak/belum memenuhi standar kualifikasi, produk hasil ijtihad yang dilakukan orang mereka yg punya kualifikasi dapat dipertanggungjawabkan kualitas-nya. Buruknya itu berakibat pada stagnansi hukum Islam, hukum hanya terbatas persoalan yang tertulis di kitab Fiqih jaman dahulu.

Selain Fiqh, ilmu Tasawuf. Ilmu ini mengajarkan tentang cara bagaimana berhubungan dengan manusia dan Tuhan. Misalnya bagaimana memperlakukan harta, waktu, jabatan dengan kearifan. Dalam konteks masyarakat yang berkecenderungan materialistik, ilmu ini berperan sebagai ‘rem’ istilah teman saya. Bahwa setiap keinginan , hasrat, ambisi harus ditata dan dimanage secara baik. Sebab segala kemungkinan bisa terjadi dengan potensi ini. Bisa negatif juga positif. Nafsu saja misalnya ia bisa jadi energi positif bisa sebaliknya. Kecenderungan manusia untuk berkuasa bila disalurkan sebagai rrasa tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan dan lingkungan tentu jadi niat mulia, sebaliknya saat ambisi kekuasaan ditempat sebagai jembatan untuk memperkaya diri, memuaskan nafsu ragawi semata tentu ini jadi energi negatif. Energi yang akan menempatkan manusia pada posisi ‘animal have reason’ saja.

Karena berfungsi sebagai ‘rem’, pengajian ini tentu menjadi penting adanya. Layaknya shalat yang selalu berwudhu, sebagai tanda bersuci, pengajianpun bisa menjadi ‘alat untuk mengiingatkan’ kita tentang banyak hal di dunia ini.

Dalam hidup memang perlu keseimbangan. Dan keduanya perlu pemenuhan dan pemuasan. Walau yg terakhir ‘agak absurd’ tapi manusia memang selalu begitu, pemenuhan saja tidak cukup juga pemuasan.
Betawi dan tradisi mengaji memang tak bisa dipisahkan. Serasa belum lengkap menjadi Betawi tanpa punya kemauan mengaji, dalam berbagai model tentunya. Hanya tinggal memilih, model apa yang ia suka. Apakah yang mengutamakan cara penekanan ke hati melalui zikir, menggali nalar melalui logika, atau mempelajari tradisi Nabi beragama melalui kitab-kitab yang tinggalkan.

Sekali lagi ‘rem’ itu perlu…

Komentar :

ada 1
sire mengatakan...
pada hari 

artinya apa?

Posting Komentar


Pengunjung


Buku Tamu

 
Powered by Blogger.com | Dioprek Oleh Sire