Susah, senang sangat bergantung pada hati. Hati yang merasa cukup selalu bisa senang. Cukup tidak harus berlebih pada harta. Bisa sebaliknya, ada yang miskin harta tapi punya hati yang cukup, ia bisa merasa bahagia. Satu capaian rasa yang diinginkan setiap individu.
Dalam banyak hal kehidupan di dunia ini banyak yang menipu. Apa yang kita anggap kesenangan, bisa jadi angan kita melihat sesuatu di luar kita. Saat itu kita capai, tak seindah yang kita bayangkan. Ia menjadi lain, tidak seperti yang kita bayangkan pada posisi awal di mana kita melihat.
Dalam konteks masyarakat konsumerism, kita sering disuguhi ‘iklan terselubung’ via sinetron dan tontonan kita. Kita disuguhkan citra manusia ideal, manusia sempurna melalui capaian materi belaka. Seorang yg berhasil diukur dari seberapa banyak mobil yg dipunya, merek apa aja, rumah super mewah, dan gaya hidup glamour lainnya. Seakan semua digiring untuk menjadikan itu sebagai tujuan akhir hidup. Seakan juga, mereka yang tidak pada posisi itu menjadi manusia kelas 2, atau setidaknya dikatagorisasasikan belum (tidak?) berhasil.
Tentu ini punya implikasi. Gaya hidup itu memaksa orang untuk berlomba meraih posisi itu. Andai proses untuk meraihnya menggunakan cara normal, tentu tak menghawatirkan. Bahkan dianjurkan untuk menuntutnya pada posisi standar. Tapi bila menggapainya dengan menggunakan berbagai cara, termasuk cara yang dilarang tentu ini bermasalah.
Cobalah membatasi keinginan. Dan tidak semua keinginan bisa tercapai. Andai tidak tercapaipun itu mungkin yang terbaik di mata-Nya. Do’a kita “berikan yang terbaik untuk hamba-Mu”. Karena tidak semua yang kita anggap baik, baik pula menurut-Nya. Semoga.
Komentar :
Posting Komentar