Minggu, 14 Agustus 2011

Memandangi hewan Kurban

Dalam pikiran-ku terbersit, “sebentar lagi kamu akan disembelih, lalu seluruh anggota tubuhmu dipotong-potong, berikunya dibagikan ke kita semua”. “aku dapet apanya ya, andai dapet tulang iga-nya, untuk dibakar wah pasti lezat sekali”. Haaaaah.. … aku sadar, yang kubayangkan di depan mataku hewan yang masih hidup.

Lalu pikiranku menerawang jauh mengandaikan aku seekor Singa kelaparan di Savana sedang memandang zebra, layaknya bayangan dalam film animasi Madagaskar yg fenomenal itu. “Andai aku makan paha zebra di depan-ku pasti enak sekali”. Walau yg ini cerita tentang khayalan hewan yg terbiasa liar membayangkan teman sendiri di kebun binatang yang sama.

Kupikir tidak salah kalau manusia disebut ‘animal have reason’ binatang yg punya akal. Keduanya sama-sama punya hasrat makan, tidak hanya tumbuhan tapi juga makhluk sejenis, seperti hewan. Bedanya manusia saat ingin ‘memangsa’ ada banyak proses yang harus dilewati. Proses itu yang membedakan manusia dengan binatang.

Walau ada proses tapi kalau dipikir lebih dalam hampir tak ada beda. Belum lagi manusia ‘rakus’ yang punya kebiasaan memakan apa saja. Istilah kawan saya, “makan aspal, makan batu, makan pasir dan makan meja”. Wah makhluk apa ini? Makan semua jenis, tidak lagi sebatas tumbuhan dan hewan.
Melihat watak dasar manusia yang ’super rakus’ itu, ada agama, ada aturan sosial, ada aturan adat yang memberikan rambu-rambu bagaimana manusia mengatur pola keinginannya. Tidak semua yang diinginkan ‘dibenarkan’ untuk dinikmati. Ada istilah haram, ada ‘tabu’, ada ‘pamali’ dan sebagainya. Dalam tradisi budaya tradisional atau yg lain menyebut ‘primitif’ , setiap hal yang dianggap tabu, mereka tak berani melanggarnya. Hutan yang hijau, serta daerah-daerah yang sampai hari ini masih terjaga kelestariannya biasanya karena dijaga oleh tradisi masyarakat sekitar dengan isitilah pamali dan tabu itu.

Tapi coba banding dengan kita, masyarakat yg mengaku modern dan berperadaban (civilized) malah mengikuti hawa-nafsu keserakahan melebihi batas kebutuhan. Ada banyak orang di sekitar kita berusaha ‘mati-matian’ untuk memiliki hal yang sama sekali tidak dibutuhkan. Ia ingin ‘menguasai’ harta berlimpah yang sama sekali tak dibutuhkan. Contoh sederhana, sekaya apapun kita, makan sehari tidak lebih dari 3 kali sehari, kalau lebih pasti lain jadinya. Apalagi buat penderita diabetes melitus, porsi nasi (yang punya kadar ‘gula’ tinggi) harus mulai dibatasi. Artinya bukan hanya agama, sosial dan adat, kali ini badan kita sendiri sudah me’warning’ agar tak mengkonsumsi makanan berlebih. Tanah yang kita perlukan juga paling 200-300 m2 untuk kita tinggali, tapi kita berusaha sekuat tenaga memiliki lebih dari itu bahkan melebihi batas keperluan. Saking jauhnya, kata temen saya, untuk menunjuknyapun ke atas. “saking jauhnya”. Juga karena terlalu luasnya.

Setiap manusia yang lahir sudah ada rezeki-nya. Tugas kita menghampiri rezeki itu. Tapi sekali lagi karena ada tabiat ‘rakus’ sebagian kita, akhirnya rezeki itu tidak merata. Dalam konteks Indonesia saja kita lihat, rejeki Tuhan atas negeri ini ‘ruar biasa banyak’. Tapi acapkali kita dengar cerita tentang ada yang busung lapar. Itu terjadi tidak saja, yang jauh dari pusat peradaban, di kota sendiri sering kita dapati fenomena itu.

Limpahan materi, kepintaran, tenaga yang kuat merupakan anugrah yang harus kita bagi bersama. Berpikirlah untuk ‘berbagi-kesejahteraan’ pada sesama, terutama yang membutuhkan. Karena ada hal yang buat sudah tidak bermanfaat, buat yang lain tentu sangat bermanfaat dan dibutuhkan.
Kurban adalah salah satu jalan untuk berbagi kesejahteraan itu.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Memandangi hewan Kurban”

Posting Komentar


Pengunjung


Buku Tamu

 
Powered by Blogger.com | Dioprek Oleh Sire